Kisah Sahabat Nabi: Rabi’ah bin Ka’ab, Sahabat yang Rendah Hati, melayani Nabi sepenuh hati

Kisah Sahabat Nabi: Rabi’ah bin Ka’ab, Sahabat yang Rendah Hati, melayani Nabi Saw sepenuh hati.

“Rabi’ah Bin Ka’b melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh agar ia dapat menyusul Rasulullah Saw di surga… Sebagaimana Ia pernah hidup bersama Beliau sebagai seorang pembantu di dunia.”

Rabi’ah bin Ka’b berkata: “Dulunya aku adalah seorang pemuda yang beranjak remaja, saat jiwaku mulai disinari oleh cahaya iman, dan hatiku mulai dipenuhi dengan ajaran-ajaran agama Islam.”

Begitu mataku untuk pertama kalinya merasakan kedamaian menatap Rasulullah Saw, pandangan pertama tersebut telah menimbulkan kecintaanku kepadanya sehingga mengisi seluruh anggota tubuhku. Aku begitu cinta kepada Beliau sehingga membuatku berpaling dari siapapun selainnya.

Suatu hari aku berkata dalam diri sendiri: Celaka engkau, ya Rabiah! Mengapa tidak kau paksakan dirimu untuk berkhidmat kepada Rasulullah?!

Tawarkanlah dirimu kepadanya… Jika Beliau menerimamu, maka engkau akan senang berada di dekatnya dan bahagia mendapatkan kecintaannya. Malah engkau akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.

Tak lama kemudian aku langsung menawarkan diriku kepada Rasulullah. Aku berharap ia mau menerimaku sebagai pembangtunya.

Beliau rupanya tidak memupus harapanku. Ia menerimaku sebagai pembantunya.

Sejak saat itu, aku menjadi orang yang selalu berada di dekatnya. Aku berjalan bersamanya kemana saja Beliau pergi. Aku selalu mengiringi Beliau.

Kalau Beliau melirik ke arahku dengan matanya, maka pasti aku segera datang dan sudah berada di hadapannya. Jika ia membutuhkan sesuatu, pasti Beliau mendapatiku segera memenuhi kebutuhannya.

Aku membantu Beliau sepanjang hari. Jika siang sudah pergi dan Beliau sudah melakukan shalat Isya dan mulai masuk ke kamarnya untuk tidur, maka aku pun pulang dan kembali ke rumah.

Akan tetapi kemudian aku bertanya dalam diri sendiri: Mau pergi kemana, ya Rabiah?! Mungkin saja Rasulullah Saw membutuhkan sesuatu pada malam hari. Maka aku pun duduk di depan pintu rumah Rasul Saw, dan tidak sedikit pun bergeser dari sana.

Rasulullah Saw terkadang menghabiskan malamnya dengan shalat; aku sering mendengar Beliau membaca Surat Al Fatihah. Beliau terus-menerus

membaca ulang surat tersebut pada sebagian malam, sehingga aku merasa bosan dan membiarkan Beliau membacanya, atau karena aku merasakan ngantuk dan mataku sudah berat terasa.

Terkadang aku mendengar Beliau membaca Sami-Allahu limanhamidahu, Beliau terus mengulanginya  beberapa lama lebih lama dari pada ia membaca surat Al Fatihah berulang-ulang.

Salah satu kebiasaan Rasulullah Saw adalah tidak ada orang yang berbuat kebaikan kepadanya kecuali Beliau ingin membalasnya dengan yang lebih baik lagi kepada orang tersebut.

Beliau ingin sekali membalas pengabdianku kepadanya. Pada suatu Beliau menghampiriku dan bersabda: “Ya, Rabiah bin Ka’b!”

Aku menjawab: “Baik, ada apa ya Rasulullah?!” Beliau bersabda: “Mintalah kepadaku sesuatu dan aku akan memberikannya padamu!”

Aku berpikir sejenak dan lalu aku berkata: “Berikanlah aku waktu ya Rasul agar aku dapat memikirkan hal apa yang dapat aku minta darimu, nanti akan aku beritahu.”

Beliau bersabda: “Baik, kalau begitu!”

Pada saat itu aku adalah seorang pemuda yang fakir yang tidak memiliki keluarga dan harta apalagi rumah. Akan tetapi aku tinggal di Suffah masjid bersama orang-orang fakir muslimin sepertiku. Dan manusia pada saat itu memanggil kami dengan sebutan Dhuyuf Al Islam (Para tamu Islam).

Jika ada seorang dari kaum muslimin yang membayarkan sedekah, maka Rasulullah Saw akan mengirimkan harta sedekah tersebut kepada kami.

Jika ada orang yang memberi Beliau hadiah, maka Beliau mengambil sedikit dari hadiah tersebut, kemudian sisanya Beliau berikan kepada kami.

Kemudian aku terpikir untuk meminta sesuatu dari kebaikan dunia yang dapat membuatku kaya dan keluar dari kefakiran. Sehingga aku bisa menjadi orang lain yang memiliki harta, istri dan anak.

Akan tetapi sesat kemudian hatiku berkata: “Celaka kamu, ya Rabiah. Dunia ini akan hilang dan fana. Dan engkau dalam dunia ini sudah diberi rizqi yang telah ditanggung oleh Allah Swt. Rizqi tersebut pasti akan mendatangimu.

Sedangkan Rasulullah Saw memiliki posisi terhormat di sisi Tuhannya yang tidak bakal ditolak setiap permintaannya. Maka mintalah darinya agar ia meminta kepada Allah kebaikan akhirat bagi dirimu.

Maka hatiku pun menjadi nyaman dengan pikiran tersebut.

Suffah adalah sebuah tempat di Masjid Rasulullah Saw sebagai tempat berteduh para kaum

fakir yang tidak memiliki rumah tinggal. Dan mereka semua dikenal dengan Ahli Suffah.

Kemudian aku menghadap Rasulullah Saw dan Beliau bertanya: “Apa yang hendak kau katakan, ya Rabiah?!”

Aku menjawab: “Ya Rasulullah, aku memintamu agar engkau berdo’a kepada Allah untukku agar Ia menjadikan aku sebagai pendampingmu di surga!” 

Beliau Saw bertanya: “Siapa yang telah memberimu nasehat akan hal ini?”

Aku menjawab: “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang memberiku nasehat. Akan tetapi saat kau bersabda kepadaku: ‘Mintalah kepadaku, pasti akan aku berikan’ hatiku mengatakan agar aku meminta

kepadamu sebagian dari kebaikan dunia.

Kemudian tidak lama berselang aku lebih memilih kehidupan yang abadi daripada kehidupan yang fana

ini, maka aku memintamu agar engkau berdoa untukku kepada Allah agar aku dapat menjadi pendampingmu di surga.

Rasulullah Saw diam beberapa lama kemudian bertanya: “Atau ada permintaan selain itu, ya Rabiah?”

Aku menjawab: “Tidak, ya Rasulullah.

Aku tidak akan mengganti apa yang telah aku minta kepadamu.”

Beliau bersabda: “Baiklah, kalau begitu bantu aku dalam menolong dirimu dengan memperbanyak sujud!”

Maka aku pun bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah agar aku dapat mendampingi Rasulullah Saw di surga, sebagaimana aku telah

beruntung telah menjadi pembantunya dan menemani Beliau di dunia.

Kemudian tidak berselang lama sejak saat itu hingga Rasulullah Saw memanggilku dan bertanya: “Apakah engkau tidak mau menikah, ya Rabiah?”

Aku menjawab: “Aku tidak ingin ada sesuatu yang menyibukkan aku dari berkhidmat kepadamu, ya Rasulullah! Apalagi aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai mahar. Aku pun tidak punya harta untuk membiayai hidupnya.”

Kemudian Beliau terdiam. Lalu Beliau melihat ke arahku untuk kedua kalianya dan bertanya: “Apakah engkau tidak berniat untuk menikah, ya Rabiah?!”

Aku pun memberikan jawaban yangsama kepada Beliau seperti sebelumnya.

Akan tetapi begitu aku berpikir sejenak dalam hatiaku merasa menyesal dengan apa yang telah aku lakukan.

Aku pun berkata: “Celaka engkau, ya Rabiah! Demi Allah, sungguh Nabi Saw lebih mengetahui dari dirimu apa yang terbiak bagi agama dan duniamu, dan ia lebih tahu tentang apa yang kau miliki. Demi Allah, jika Rasulullah Saw setelah ini menanyakan aku apakah aku hendak menikah, pasti akan aku jawab Beliau dengan jawaban ya!”

Bersambung…

Leave a Comment