Al Amr

hnihpaitangerang.wordpress.com

Al – Amr atau Amar artinya perintah, suruhan atau titahan.

Amar yang ditujukan dalam pembicaraan ini adalah: “PERINTAH DARI ALLAH DAN RASUL – NYA YANG ADA DALAM AL QURAN DAN HADITS-HADITS”.

Tentang “perintah” ini ada beberapa qa’idah sebagai berkut:

1. Tiap-tiap perintah asalnya wajib (lihat ta’rif “wajib” di fasal “Hukum Syara” pada postingan sebelumnya)

Tiap-tiap perintah yang terdapat dalam Al Quran dan Hadits Nabi Saw, pada asalnya berketetapan Wajib (Diantara alasan-alasan yang menetapkan dasar ini adalah perintah Allah kepada malaikat dan jin untuk tunduk kepada Nabi Adam, tetapi iblis enggan. Maka karena keengganannya ini, Allah hukum iblis itu [lihat Al Quran surah Al Baqarah ayat 34]) seperti firman Allah:

وَأَقِيمُواالصَّلاةَ

 

Artinya: Dan dirikanlah shalat (An-Nisa:77)

Keterangan:

Perkataan “Dirikanlah” itu, suatu perintah dari Allah. Tiap-tiap perintah, asalnya “wajib”. Kesimpulannya: Shalat itu, hukumnya “wajib”.

Kata-kata “shalat” meliputi semua macam shalat yang ada dalam Agama kita, yaitu: shalat 5 kali sehari, shalat hari raya, shalat rawatib, shalat tarawih, shalat tahiyatul masjid, dan sebagainya.

Menurut hukum yang asal tadi, tentu kita harus menetapkan bahwa: shalat tarawih, tahiyatul masjid, shalat hari raya, shalat rawatib itu juga “wajib”. Tetapi ada keterangan yang menetapkan bahwa shalat yang diwajibkan kepada kita hanya 5 kali dalam sehari semalam, sebagaimana yang telah kita sama-sama ma’lumi.

Riwayat yang menetapkan hanya shalat 5 itu saja adalah:

جَاءَ اَعْرَابِيٌّ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللّٰهِ مَا فَرَضَ اللّٰهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ ؟ فَقَالَ : اَلصَّلَاتُ الْخَمْسُ اِلَّا اَنْ تَطَوَّعَ شَئْاً ( البخاري )

Artinya: Telah dating seorang Arab gunung, lalu bertanya: “Ya Rasulullah! Shalat mana yang Allah wajibkan atasku?” Maka Nabi menjawab: “(Ialah) shalat yang 5, kecuali kalau engkau hendak mengerjakan yang sunnatnya”. (Bukhari)

2. Perintah wajib jadi sunnat

Perintah-perintah yang asalnya “wajib” dapat berubah menjadi ketetapan “sunnat”, jika ada dalil Agama.

Contohnya: sabda Nabi Saw:

صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ ( البخري )

Artinya: Shalatlah (2 rakaat) sebelum (shalat) Maghrib (Bukhari)

Keterangan:

Perkataan “shalatlah” itu 1 perintah Nabi Saw. Tiap-tiap perintah pada asalnya wajib. Jadi menurut ini shalat 2 rakaat sebelum Maghrib itu adalah “wajib”. Tetapi riwayat orang Arab gunung yang dating kepada Nabi Saw, sebagaimana tersebut diatas, terang menunjukkan bahwa shalat yang wajib itu hanya 5 saja.

Karena itu, maka “2 rakaat sebelum Maghrib” itu, bukan wajib. Perintah yang bukan wajib itu, apabila mengenai urusan ibadah, disebut “sunnat”.

3. Perintah wajib jadi mubah

Perintah-perintah yang pada asalnya “wajib”, dapat berubah menjadi “mubah”, bila ada keterangan atau jalan yang menunjukkan ke situ.

Seperti firman Allah Swt:

 

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا ….. ( الاعراف : ٣١ )

Artinya: Dan makan dan minumlah….. (Al-A’rof: 31)

Keterangan:

Kalimat “makan dan minumlah” itu, kedua-duanya perintah dari Allah. Tiap-tiap perintah asalnya “wajib”. Menurut ini, maka “makan dan minum” itu mestinya mempunyai hukum “wajib” pula.

Tetapi oleh karena “makan dan minum” itu urusan keduniaan serta Allah atau Rasul-NYA tidak menentukan banyaknya, sedikitnya dan tidak ada suatupun paksaan, maka tentulah perintah “makan dan minum” itu dalam bentuk seperti tersebut, tidak dapat dikatakan “wajib”.

Sesuatu yang “tidak wajib” dalam hal keduniaan seperti tersebut, dinamakan “mubah” ya’ni “boleh”; boleh makan dan minum.

4. Perintah wajib jadi do’a

Perintah-perintah yang pada asalnya wajib, bisa berubah menjadi sebagai “do’a”dengan alasan dan melihat pada kedudukannya.

Seperti firman Allah dalam Al Quran:

اِهْدِنَاالصِّرَاطَالْمُسْتَقِيمَ ( الفاتحة )

 

Artinya: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (Al-Fatihah)

Keterangan:

Perkataan “tunjukkanlah” itu berbentuk suatu perintah. Tiap-tiap perintah pada asalnya wajib. Jadi mestinya, ayat ini bermakna “wajib ENGKAU (Allah) menunjukkan”.

Tetapi oleh karena ucapan itu kita hadapkan kepada Allah yang menjadikan kita, yang memberi rizki kepada kita, yang memelihara kita dan seterusnya, tentulah tidak pada tempatnya dikatakan Allah “wajib memberi petunjuk” yang berarti kita memerintah kepada – NYA. Oleh karena itu, maka ucapan kita itu berupa suatu “permintaan” kepada Allah. Permintaan manusia kepada Allah dinamakan “do’a”. Dengan begini, maka ma’na ayat tadi, adalah kita memohon kepada Allah supaya DIA menunjukkan jalan yang lurus.

5. Tiap-tiap perintah asalnya “sekali”

Tiap-tiap perintah yang terlepas (tidak bersyarat, tidak ditentukan waktunya dsb) pada asalnya cukup dikerjakan “sekali” saja. Tegasnya jika orang yang diperintah mengerjakan perintah itu “sekali” saja, terlepaslah ia dari kewajiban.

Seperti firman Allah dalam Al Quran:

أَتِمُّواالْحَجَّ….. ( البقرة : ١٩٦ )

Artinya: Sempurnakanlah hajji …. (Al Baqarah : 196)

Keterangan:

Perkataan “sempurnakanlah” itu satu perintah yang terlepas. Dari perintah ini dapat kita keluarkan 2 ketentuan:

I. Tiap-tiap perintah asalnya wajib. Jadi naik haji itu hukumnya “wajib”, dan tidak ada dalil yang mengubah kewajiban itu.

II.Tiap-tiap perintah asalnya cukup dilaksanakan sekali saja. Jadi, naik haji cukup dikerjakan sekali saja seumur hidup. Oleh karena itu tidak ada lain-lain keterangan Agama yang mengubah “satu kalinya” itu, maka tetaplah ibadah haji itu wajibnya hanya sekali seumur hidup.

Kesimpulan:

Haji itu hukumnya “wajib” dan cukup “satu kali”

6. Perintah “sekali” jadi “berulang”

Perintah yang asalnya memadai dilakukan sekali saja, dapat berubah menjadi wajib dikerjakannya lebih dari sekali, bilamana ada dalil yang menentukan ke situ.

Seperti firman Allah dalam Al Quran:

اَقِيْمُوْاالصَّلَاةَ ….. ( البقرة : ١١٠ )

Artinya: Dirikanlah shalat ….. (Al-Baqarah: 110)

Keterangan:

Perkataan “dirikanlah”, adalah suatu perintah. Dari perintah ini, kita mendapat 2 ketetapan, yaitu:

I. Tiap-tiap perintah asalnya “wajib”. Jadi “wajib” shalat. Tentang shalat mana yang wajib itu, telah ada pembicaraanya pada fasal “Tiap-tiap perintah asalnya wajib”

II.Tiap-tiap perintah asalnya cukup dkerjakan sekalisaja. Jadi mestinya shalat yang wajib itu juga cukup dilakukan sekalisaja. Tetapi di fasal (I) ada riwayat orang Arab gunung yang menetapkan bahwa shalat wajib yang harus kita kerjakan itu, sehari semalam, lima kali. Ini menunjukkan berulang-ulang. Jadi riwayat Arab gunung itu sebagai dalil yang mengubah dari “sekali” menjadi “lebih dari sekali” (berulang-ulang).

Kesimpulan:

Shalat lima waktu itu “wajib” dan harus dilakukan dengan “berulang-ulang”.

7. LAFAZH KHABAR JADI “PERINTAH”

Dalam Al Quran dan Hadits banyak kata-kata yang berbentuk khabaran, tetapi mengandung “perintah”.

Contoh ayat firman Allah dalam Al Quran:

وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلاثَةَقُرُوءٍ … ( البقرة : ٢٢٨ )

Artinya: Perempuan-perempuan yang telah dicerai itu, menahan diri-diri mereka (yaitu ber’iddah) 3 kali bersih dari haidh (Al-Baqarah: 228)

Keterangan:

Kalimah “menahan” disitu, bentuknya adalah sebagai khabaran, karena memakai fi’il mudhari’ tetapi maksudnya “memerintah” yaitu “hendaklah mereka menahan”

Dikatakan demikian, karena perempuan-perempuan yang telah dithalaq itu, sebenarnya tidak ada kewajiban menahan diri mereka untuk ber’iddah, jika tidak diperintah Agama.

Contoh dari Hadits:

قَالَتْ اَسمَاءُ : جَاءَتْ اِمْرَاَةٌ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ : اِحْدَانَا يُصِيِبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَامِ الحَيْضَةِ. كَيْفَتُصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّی فِيْهِ ( مسلم )

Artinya: Telah berkata Asma’: Seorang perempuan telah dating kepada Nabi Saw, lalu bertanya: “Seorang dari kami, kainnya kena darah haidh. Maka bagaimanakah ia harus berbuat?” Jawab Nabi Saw: “Ia hilangkan darah itu, lalu ia gosoknya dengan air, kemudian ia cucinya, sesudah itu ia shalat dengan memakai kain itu”. (Muslim)

Keterangan:

Perkataan-perkataan “hilangkan”, “gosok”, “cuci”, dan “shalat” itu semua berbentuk khabar, karena lafazh-lafazhnya itu fi’il mudhari’ (nama pekerjaan yang sedang atau akan berlaku), bukan kalimah “perintah” (fi’il amr).

Perempuan tersebut menanyakan “hukum” membersihkan kain yang kena darah haidh, bukan minta khabar biasa. Jawaban Rasulullah tentulah berupa “hukum” pula, sedang yang dikatakan hukum itu, adalah “perintah” dan “larangan”.

Dalam riwayat Muslim tersebut, tidak ada bentuk “larangan”. Jadi nyata yang Nabi Saw sabdakan kepada Asma’ itu adalah “perintah”, yakni: “hilangkanlah”, “gosoklah”, “cucilah” dan “shalatlah”.

Lafazh-lafazh khabaran yang teranggap sebagai “perintah” itu, kebanyakannya berbentuk fi’il mudhari’ seperti diatas.

Sampai disini kami habisi penerangan qa’idah-qa’idah Ushul yang perlu-perlu yang berhubungan dengan “perintah”. Untuk tiap-tiap 1 qa’idah kami bawakan hanya 1 contoh saja. Boleh saudara pembaca qiaskan semua yang dapat dimasukkan dalam qa’idah-qa’idah tersebut.

والله اعلم

Leave a Comment